JAKARTA-SACOM: Serikat Petani Indonesia (SPI) mencatat
masih maraknya konflik agraria sepanjang 2011, disertai dengan kekerasan
serta kriminalisasi terhadap petani.
Menurut Ketua SPI Henry Saragih, biang keroknya adalah sistem agraria
yang masih tumpang tindih. Diperparah lagi oleh semakin tingginya
kepentingan korporasi.
"Masalah agraria di Indonesia sungguh kompleks, mengingat sistem hukum
pertanahan terbagi dua, yakni di bawah wewenang BPN dan Kementrian
Kehutanan," ujarnya Kamis (29/12).
Belum lagi, lanjutnya, buruknya sistem pemetaan kawasan. "Konflik
agraria petani dengan perusahaan swasta perkebunan, pertambangan, AMDK
(Air Minum Dalam Kemasan), dan BUMN atau PTPN masih terus terjadi dan
berlarut-larut," paparnya.
Diperparah lagi dengan cara-cara kekerasan dalam menangani konflik oleh
aparat, adanya intimidasi, lik agraria, beberapa di antaranya berujung
pada praktik pelanggaran hak asasi manusia, intimidasi, penganiayaan,
penembakan, hingga penangkapan warga. "Hal ini berdampak nyata terhadap
hilangnya sumber-sumber kehidupan dan ancaman keberlangsungan hidup
masyarakat, khususnya perempuan yang mengurusi kebutuhan rumah tangga,"
pungkas Henry.
Dari data SPI, sejauh ini telah terjadi 120 konflik agraria. Dari jumlah
tersebut, seluas 342.360,43 hektare lahan dibebaskan dari petani kecil,
35 petani mengalami kriminalisasi, 18 orang tewas, dan 273.888 kepala
keluarga mengalami penggusuran.
Sementara pada 2010, terdapat 77.015 hektare pembebasan lahan petani
kecil, 106 petani mengalami kriminalisasi, lima orang tewas, dan 21.367
kepala keluarga digusur dari tempat tinggalnya.
sumber/
source:
suaraagraria.com